Kurang lebih setahun yang lalu (kalau tidak salah akhir bulan Februari 2012), salah satu adik kami dari Rumah Belajar Sahaja Ciroyom yang bernama Didin mengalamai jatuh sakit. Aku cukup tau, Didin atau adik-adik kami ini bukan anak-anak yang manja, yang setiap sakit harus dibawa ke RS. Justru menurutku, mereka memiliki sistim imun bawaan yang lebih tinggi dari pada aku. Bagaimana tidak, kebanyakan dari mereka setiap hari mengamen atau mengemis dari angkot ke angkot, tak jarang mereka tanpa alas kaki, juga tak peduli hujan ataupun panas. Makanan apa yang tidak bisa dicerna oleh perut mereka? Menurutku tak ada. Mungkin dengan kondisi hidup dijalan tanpa kasih sayang seperti itu, rasanya terlalu naif bila mereka menjadi orang yang pilih-pilih makanan. Keluarga yang ada pun kadang enggan menemui dan ditemui, masih mau sibuk-sibuk berfikir ingin makan apa? Masih mau bersusah-susah berfikir sehatkah makanan itu? Yah begitulah hidup mereka, jauh lebih tangguh dari aku yang sehat bahkan hidup lebih terjamin, karena jelas, Alhamdulillah aku masih tinggal dan besar di lingkungan keluarga yang hangat. Dan ketika saat itu mendengar Didin sakit sehingga harus dirujuk ke RS, artinya dia tak sekedar flu atau demam seperti biasa. Aku kurang ingat apa gejalanya, entah muntah-muntah atau demam tinggi, yang jelas Minggu malam hari itu, aku menerima pesan dari blackberry messanger group Sahaja, bahwa Didin dibawa ke salah satu RS umum Kota Cimahi dibantu oleh Ka Yogie beserta ka Inun (kepsek Rubel Sahaja Ciroyom pada periode tersebut) dan ka Fajar dengan menggunakan mobil untuk segera ditindak lanjuti. Inalillah……Seperti biasa, muncul banyak pertanyaan ini itu dari kami yang membaca pesan tersebut. Didin kenapa? Sakit apa? Bagaimana bisa? Dan lain sebagainya. Jawabannya yang kami dapat adalah Didin sepertinya suspect TBC. Lalu aku berfikir….. Tak heran juga kalo begitu sakitnya, melihat dia ngelem secandu itu. Kadang sehari dia bisa menghabiskan 3 kaleng lem aibon. Dihirup sodara-sodara……Bukan dimakan apalagi diminum.
Paginya, Ka Inun bertanya siapa yang bisa membantu menjaga Didin hari ini, karena dia harus bekerja dan ka Fajar harus kuliah. Aku fikir, aku dapat membantu karena memang saat itu aku benar-benar baru lulus, dan belum bekerja sama sekali. Jadi lah pagi itu, jam 9 pagi aku berangkat dari rumah dengan menggunakan kendaraan umum menuju RS tersebut untuk berganti tugas menjaga Didin. Perjalanan yang tak sebentar pastinya, kurang lebih satu jam aku harus naek turun bis dan angkot. Akhirnya kurang lebih jam 10 aku sampai di RS tempat Didin dirawat itu. Ini kali pertama aku ke RS itu, aku menyusuri tangga-tangga gedung itu untuk sampai di ruangan Didin sesuai info yang sudah diberikan oleh ka Inun, saat itu aku belum tau kalau ternyata untuk sampai ke lantai 2 kita bisa menggunakan lift. Aku memasuki ruangan Didin yang katanya ruang inap kelas 2. Kamar itu dilengkapi TV dan memang hanya ada 3 atau 2 tempat tidur pasien, aku tak ingat pasti. Mata ini langsung tertuju pada seorang ibu dan Jajang yang langsung menyambar tanganku untuk bersalaman sebagaimana biasanya kami semua bertemu. Sekedar informasi bahwa Jajang adalah salah satu adik kami di Rubel Sahaja Cihampelas. Mereka berdua mendampingi Didin yang sedang berbaring dan terlihat pucat. Sekilas aku sapa Didin dan akhirnya aku tau bahwa ibu itu adalah ibu dari Didin. Heum….. Ternyata selama ini Didin punya ibu, aku justru baru tau. Mungkin karena selama ini aku sering liat dia tumbuh di pasar itu, tidak jelas keluarganya. Lantas selama ini ibunya kemana? Aku terus bertanya-tanya dalam hati. Mencoba sedikit mengintrogasi, aku tanyakan tempat tinggal ibu itu. Di dekat sini neng, tidak jauh dari cimahi, begitu katanya. Langsung saja aku bicara sedikit bijak, pelan-pelan aku meminta tolong pada si Ibu agar dapat lebih menjaga anaknya, atau ajaklah sekalian si Didin kembali pulang, yah setidaknya supaya dia tidak ngelem lagi, karena jelas ini adalah salah satu penyebab sakitnya dan sebanarnya lingkungan lah salah satu faktor utamanya. Aku terang-terangan mengatakan itu di depan sang Ibu dan Didinnya sendiri, berharap agar Didin sadar bahwa dia masih memiliki keluarga dan tempat kembali, tidak luntang-lantung di pasar sana. Begitu pula pada si Ibu agar dia mengerti bahwa ada anaknya yang tumbuh di tempat yang kurang layak seperti itu dan inilah akibatnya sekarang. Lalu aku tanya lagi, apakah Didin punya adik? Aku coba gali informasi sedalam-dalamnya. Sang ibu bercerita dan bercerita, info yang aku dapat, ayahnya pergi entah kemana, sepertinya menikah lagi. Sekarang ibunya ini juga menikah lagi seperti tidak mau kalah dengan sang suami yang pergi dan hadirlah dua atau tiga adiknya lagi yang masih kecil-kecil di rumah, mereka adalah adik tiri Didin. Katanya, Didin itu memang tidak mau pulang dan susah sekali menasehatinya supaya pulang ke rumah. Apalagi ada adik-adik nya yang harus diurus, sekolah, makan, dan harus bekerja menghidupi keluarga karena si suami saat ini tidak bekerja, jadi meng-keep Didin supaya pulang juga susah sekali rasanya. Sakit begini saja, si ibu diberitau oleh ka Inun, kalau tidak, jelas tak tau. Yaya…..jadi dia, tinggal bersama Ibu dan memiliki ayah tiri? Aku menelan ludah dan membatin sendiri, tidak aneh memang jadinya bila dia mencari pelarian di Ciroyom sana. Aku katakan pada sang ibu, bahwa akan aku bujuk Didin untuk pulang ke rumah beliau bila sembuh nanti, si ibu mengangguk sembari tersenyum. Tak lama, sang ibu berpamitan pulang karena harus mengurus adiknya yang mau sekolah. Dia meminta maaf karena telah merepotkan kakak-kakak yang selama ini membantu Didin di Ciroyom, berterima kasih juga atas bantuan kakak-kakak yang mau membantu anaknya si Didin ini ketika sakit seperti sekarang dan kembali menitipkannya kepada aku. Marahi saja bila Didin nakal….! Begitu katanya sambil tersenyum. Aku hanya tersenyum, dan sedikit mengangguk tanda setuju. Lalu aku melihat dua orang yang terikat hubungan darah sebagai ibu dan anak itu bercakap sebelum benar-banar pulang meninggalkan ruangan kecil itu. Memang seperti tidak ada kehangatan sebuah keluarga disana. Ya ssudahlahhh……..!
Tak lama lepas kepergian ibu Didin dari ruangan itu, aku baru tersadar disana ada Jajang. Ternyata dia tadi datang diantar oleh pak Rifky (kepala sekolah Sahaja Cihampelas) dan ditugaskan untuk menjaga Didin hari ini. Jajang memberikan beberapa surat kepadaku yang katanya merupakan titipan ka Inun sebelum pergi kerja tadi pagi. Yang satu berupa pesan yang ditulis oleh ka Inun, dan satunya lagi surat rekomendasi dari Dinas Sosial Kota Cimahi yang menyatakan bahwa Didin ini adalah anak jalanan yang menjadi tanggung jawab pemerintah melalui DinSos sehingga dia akan mendapati pengobatan di RS ini secara gratis. Sekedar pesan biasa dari ka Inun yang ditulis dikertas, dan juga surat rekomen yang menjadi peganganku kalau-kalau nanti ada masalah. Berbarengan dengan itu, tak lama seorang suster mengantarkan sebuah resep yang harus aku tebus. Ka inun sudah berpesan pada suratnya tadi, katanya ada beberapa surat atau kartu yang harus aku urus di bagian Jam***mas untuk penebusan obat Didin nanti secara gratis di apotik bawah dan aku bisa menggunakan surat rekomendasi dari Dinsos tadi. Pasti ribet nih, begitu aku membatin. Ini pertama kalinya aku mengurus surat-surat semacam ini, dan waktu menunjukan masih setengah 10.30, cukup lah untuk mendapatkan semuanya sebelum jam 12. Aku ajak Jajang ke bawah, menemaniku mengurus kartu jaminan itu. Petugas pertama dengan senyumnya yang sangat mahal menyuruhku menaruh saja suratnya dan memberitahukan bahwa aku akan dipanggil nanti. Oke, aku duduk menunggu sembari bertanya-tanya kepada Jajang, tentang khabar adek-adek di cihampelas. Tak lama aku dipanggil yang dicirikan oleh disebutnya nama Didin. Lalu petugas itu bertanya, siapa penanggung jawabnya? Karena aku fikir Ka Inun yang membawa Didin kesini, jadi aku sebut saja nama Ka Inun. Lalu mereka bertanya, mengapa sekarang Didin ditempatkan di ruang Kelas 2? Kalau dikelas 2, yah bukan termasuk tanggung jawab jam***mas, tetapi kewajiban si penanggung jawab. Intinya? Saya disuruh membayar biaya-biaya yang ada dulu, meliputi ruangan yang sekarang ditempati dan obat-obatan yang sudah diberi sebelumnya! Karena ini tidak termasuk pada prosedure jam***mas! Aku bingung, disini sudah jelas, nama dia ditulis di surat ini sebagai bagian pertanggung jawaban pihak Dinsos. Mau dia kemaren kenapa dikelas 2? Tentu saja aku tidak tau. Segera aku sms Ka Inun dan Ka fajar saat itu juga, sms lama tak berbalas, dan orang2 jam***mas itu mulai mempermasalahkan hal-hal yang tak penting. Mereka menyuruhku mencoba menanyakan pada pihak suster jaga di ruangan kelas 2, kenapa bisa ditempatkan disana? Karena seharusnya Didin yang menjadi bagian jaminan pihak Dinsos Kota Cimahi ini dirawat di ruang kelas 3 sesuai dengan hak nya sebagaimana prosedure yang ada. Benarkan, RIBET!!! Aku suruh Jajang menunggu disitu saja, dan aku keatas mendatangi suster jaga di ruang Kelas 2. Aku sambungkan lagi apa yang ditanyakan oleh orang-orang jam***mas tadi kepadaku. Sang suster jaga bingung, ini masuknya jam berapa yah? Yang bawa siapa yah? Sang suster nampak kebingungan, lalu menghubungi entah bagian apa menanyakan masalah ini lewat telpon. Tak lama telpon ditutup, sepertinya masih bingung, dan lalu menelpon lagi. Tak lama suster lain datang, dan menanyakan ini kenapa? Aku hampir kesal. Mereka seperti hidup dijaman batu, rasanya tak sulit membuka sistem di komputer yang ada didepan mata mereka dan melihat siapa penanggung jawab pasien bernama Didin. Lama dan lama…! Menunggu dan menunggu…! Mereka banyak menanyakan hal-hal yang tak penting, lagi. Ciri-ciri Didin, gejala sakitnya ketika pertama kali masuk, siapa yang membawa, dll. Aku katakan padanya, “Suster……. Didin ini anak jalanan, dan anda tau siapa yang mengurusnya? Gantian. Sangat banyak kakak-kakak yang datang dan pergi. Saya baru datang beberapa jam yang lalu, disuruh tebus obat, tapi begini. Panjang sekali urusannya. Harusnya suster lebih tau, karena datanya ada diRS ini, dan cuma suster yang bisa mengakses.” Aku cukup emosi dibuatnya. Lalu sang suster berkelit, “mungkin pasien datang bukan pada jam shift saya. Ingin sekali aku menjawab, ”Terussss? Masalahhhhh buat gue?” Sesulit inikah memperoleh yang namanya jam***mas? Pengalaman pertama yang tidak baik. Tapi, ok shabar. Tak lama ka Inun membalas smsku, ka Fajar juga, dan pak Rifky menelponku melalui Hp yang dibawa Jajang. Mereka bilang tak ada yang sulit seharusnya, karena kata ka Ipit (kepsek Sahaja Cimahi) orang Dinsos Cimahi sudah me-Acc dan bilang, surat rekomendasi itu sudah cukup. Hanya saja, kemaren masuknya memang belum memakai surat rekomendasi ini, karena si surat masih dalam proses pengurusan, tetapi pihak RS sudah tau bahwa nantinya akan menggunakan jam***mas dari Dinas. Setengah jam bahkan satu jam berlalu. Semakin siang, aku semakin lapar dan semakin ingin marah. Setelah membuka berkas pasien Didin, mereka bertanya disini penanggung jawabnya bukan Dinsos, tetapi entah siapa namanya aku lupa. Nama seorang laki-laki yang tertulis di rekap pasien milik Didin, nama yang tidak kukenali. Mungkin nama ayahnya karena kemaren surat rekomendasi dari Dinsos ini belum jadi, begitu kata ku asal tebak dan berusaha meneruskan pesan ka Inun kepada pihak RS. Lalu entah siapa itu sang pemilik nama, yang aku tau Didin datang bersama ka Inun, Ka Fajar dan Ka Yogi. Yang aku tanyakan sekarang hanya, bagaimana urusan dengan jam***mas dibawah tadi? Hanya itu. Mereka jelas hanya butuh saling berkomunikasi satu sama lain bukan? Antar divisi atau departemen, rasaku tidak sesulit ini. Tak lama, seseorang yang aku fikir bukan suster, tetapi petugas RS yang memang mengurusi administrasi RS datang menemuiku. Seseorang yang cukup tua. Katanya, Didin memang ditempatkan di kelas 2 karena saat dia datang dan harus masuk ruang perawatan, kamar kelas 3 atau tempat seharusnya penerima jam***mas sedang penuh. Ini saja, sebenarnya kemaren ada pasien ruang kelas 2 yang mereka suruh keluar ruangan atau pindah ruang inap, aku lupa cerita pastinya. Yang jelas, pasien itu belum melunasi pembayaran yang sebelumnya, tetapi pemindahan dilakukan karena Didin mau masuk dan dirawat disana. Heum….. Semakin rumit dan rasaku tidak penting. Lalu aku tanya, “ini jadi baiknya gimana, tadi saya sudah menjelaskan bahwa surat rekomen ini kemren belum jadi, tapi toh sekarang sudah ada kan?” Sang perugas administrasi tadi hanya menjawab, “peserta jam***mas memang di ruang kelas 3 mbak, kalo disini yah umum, dan status si pasien kemaren juga umum bukan dibawah Dinsos. Kalau ingin diurus, mungkin sekarang dan kedepannya statusnya berubah menjadi tanggung jawab dinsos dan akan dipindah keruang rawat kelas. Aku sudah hampir gemas saat itu, dan ingin sekali membayar biaya Didin dari kemaren ke hari ini yang katanya belum terdata sebagai pertanggung jawaban Dinsos. Daripada nebus obat doank dan sulit begini. Sang suster jaga tadi kembali memberi pencerahan atau saran karena diapun nampak bingung. Dia menyuruhku menkonfirmasi ke bawah lagi, tentu saja ke orang jam***mas tadi.
Aku kembali turun ke kantor jam***mas tadi, kulihat Jajang disana masih duduk menungguku, aku beri dia uang untuk makan siang, karena aku tau pasti dia juga lelah mengikutiku sedari tadi. Tak lama sms ka inun masuk kembali, mengingatkanku jangan bayar biaya apapun. Baiklahhhh, jawabku singkat melalui sms juga. Aku kembali menemui mbak-mbak penjaga jam***mas. Tanpaa bilang apapun mereka tau bahwa aku masih mengurus kelanjutan masalah tadi, aku disuruh menunggu, aku duduk. Ketika menunggu aku melihat mbak-mbak petugas jam***mas yang enggan senyum tadi, sedang beradu mulut dengan passien lain yang juga mengurus hal yang sama denganku pastinya. Aku tertawa dalam hati. Wajar saja bila dia di protes ini itu, kelihatan dari caranya menhadapi pelanggan yang tak ramah. Tak cukup lama seperti tadi, tak lama nama Didin dipanggil, artinya aku. Aku masih dipermasalahkan dengan hal-hal tak penting, masalah bagaimana pertanggung jawaban yang kemarin. Dan aku juga tetap bersikeras dengan surat dari Dinsos yang ada ditanganku. Petugas yang duduk didepan kaca itu keliatan tidak mau tau lagi bagaimana solusinya, mungkin setidaknya agar aku cepat enyah dari hadapan mereka dan tak muncul lagi. Akhirnya mereka memanggil bos atau salah satu pimpinan mereka. Seorang bapak-bapak mulai nampak keluar dan mencariku. Aku di suruh masuk ke dalam ruangan kantor mereka, bebicara dilorong, tanpa duduk. Hampir semua yang ada disana menatapku dengan mata tajam, apalagi waktu itu baru saja jam istirahat. Pasti semua kesal denganku, lha mereka ga jadi istirahat gini. Aku masuk layaknya meminta pertanggung jawaban uang 100 juta. Aku utarakan semua kesulitan yang ada, dan berawal dari kondisi RS kemarin yang ceritanya kudapat dari suster-suster diruangan jaga sana, yang mengatakan bahwa kmren surat rujukan ini belum jadi, dan memang jelas kondisinya juga sedang tidak ada ruangan untuk masuk kekelas 3, dan kondisi Didin yang memang benar-benar saat itu sedang drop mengharuskan dia dirawat dan yah menempati ruang rawat kelas 2 itu solusi yang diambil. Lantas? Kondisi seperti itu salah siapa? Yah memang bukan salah mereka wahai orang-orang yang bekerja di lembaga penjamin kesehatan, tetapi juga jelas bukan salah pasien yang sakit, lalu apakah itu salah RS? Si bapak ampak bingung. Yah masa begini saja bingung, behitu gumamku. Disaat dia bekerja apalagi hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat, harusnya mereka bisa memperkirakan hal-hal semacam ini. Ini masih sepele, karena suatu saat masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain. Kalau masalah kecil yang sepele saja tak selesai, bagaimana yang lain? Aku terus mendesak, karena kalau begini terus, resep tadi tak dapat aku tebus, sedangkan si Didin diatas harus segera mengganti infusnya. Aku katakan bahwa aku bisa saja membayar semua yang mereka mau. Tapi ini bukan hanya masalah uang, ini masalah hak dan kewajiban masing-masing pihak…!!! Masalah prosedure yang katanyaaa mereka jalankan sesuai dengan yang tertulis! Lah kalo pelaksanaan prosedurenya sudah salah dari awal? Mau bagaimana? Aku disini, cuma membantu Didin untuk mendaparkan haknya. Menurutku, mereka ini bekerja untuk membantu masyarakat yang miskin, masyarakat miskin itu rata-rata adalah masyarakat yang kurang berpendidikan. Artinya, orang-orang di lembaga macam ini harusnya lebih pintar bahkan memintarkan masyarakatnya. Si bapak nampak benar-benar muak mendengarku, dia berlalu kembali mengurus masalah ini bersama orang-orangnya. Tak terasa jam didinding menunjukan pukul 12.30, dan aku masih menunggu dengan lapar disini. Si bapak masih keluar masuk telpon sana sini, dan dengan berat hati pastinya, dia menyuruh mbak-mbak customer service yang merupakan anak buahnya tadi untuk membuatkan kartu kuning atau apalah yang harusnya aku dapatkan dari tadi untuk menebus obat Didin. Si bapak juga memberitahuku bahwa Didin harus dipindah ke ruang kelas 3 sebagaimana haknya cuma disitu, bukan dikelas 2. Hak? Yayayaaaa, Hak. “Ok, Gak masalah.” Jawabku sambil berbalik meninggalkan beliau tanpa terima kasih. Nyaris hampir setengah hari aku mengurus hal semacam ini. Gratis itu memang susah sekali, tu yang kutau kala itu.
Akhirnya aku mendapatkan apa yang harus aku dapatkan. Meski tidak hanya selesai sampai disitu. Aku masih harus fotocopy ini dan itu balik lagi ke bagian jam***mas tadi, dan harus mengantri menebus obat. Jam belum menunjukan pukul 13.00, kantor jam***mas dan apotik masih tutup jam istirahat. Aku dapat melanjutkan proses selanjutnya sesuai procedure yang diinginkan kira-kira setengah jam lagi. Sambil menunggu jam istirahat habis, aku kembali ke lantai atas untuk melihat Didin. Belum sampai ke kamar Didin, aku disapa oleh salah seorang suster di ruang jaga perawat kelas 2 yang pastinya sedari tadi mengikuti apa yang aku permasalahkan. Suster itu menanyakan bagaimana akhirnya dengan pihak Jam***mas dibawah? Kujawab seadanya, sudah ok dan harus dipindah ke kelas 3. Aku meninggalkan suster itu, sudah malas berbasa-basi. Padahal aku ingin sekali berpesan, coba komunikasi tiap divisi itu ditingkatkan, biar tidak ada miskom dan pihak-pihak yang merasa dirugikan, tapi bad mood menghampiriku lebih dulu sebelum mengatakannya. Aku langsung menghampiri Didin, sudah makan rupanya, dibantu oleh jajang yang sedari tadi aku suruh naik duluan apabila dia sudah makan, tentu saja untuk menemani Didin karena aku tau, mengurus begini pasti tidak mudah dan tidak cepat. Tak lama seorang suster datang ke ruangan kami dan memberitahuku harus memindahkan Didin ke ruang kelas 3. Aku menghela nafas….! Rasanya belum setengah jam aku duduk di ruangan ini setelah kesana kemari dibawah tadi, dan langsung disuruh berbenah untuk pindahan ruang rawat inap. Nampaknya mereka membalas menodongku seperti tadi aku todong mereka satu persatu. Yah, gratis adalah menerima semua apa adanya. Hari itu, untungnya ada Jajang, sedikit banyak dia membantuku, terutama saat pindahan seperti ini. Jajang bersama suster sudah berjalan didepanku duluan, aku mengikuti dari belakang dengan memegang dan membaca beberapa surat-surat penting keperluan Didin, karena disana nanti aku pasti akan mengurus administrasi lagi. Benar saja, disana aku disambut suster yang menanyakan surat-surat administrasi Didin sebagai pindahan dari kelas 2. Sejenak mengurus ini itu, aku juga langsung disuruh keapotik agar Didin bisa minum obat siang itu. Aku turun 2 lantai untuk menguurus surat-surat yang belum selesai tadi dan menebus resep obat, alat suntik, dan beberapa botol infus yang seharusnya sudah dari tadi pagi aku terima. Yah memang begitulah sistem tebus obat dari pihak jam***mas untuk masyarakat yang kurang mampu. Tebus habis, atau habis pakai atau apalah namanya. Dari ruang inap berkipas angin yang hanya dihuni 2 atau 3 orang pasien dan dilengkapi sebuah tv, kami pindah ke ruangan besar yang didalamnya ada sekitar 10-12 orang sakit. Pemandangan yang jauh berbeda terlihat. Aku hanya tersenyum. Didin juga mulai menikmati ruangan yang kata orang-orang tadi adalah haknya Didin.
Di ruang sanalah Didin menghabiskan 12 botol infus selama kurang lebih 7 hari karena sakitnya kala itu yaitu gejala paru-paru basah yang dikarenakan lem yang dihirupnya setiap hari. Sakitnya Didin itu adalah tamparan bagiku, apalagi saat aku mengurus biaya jam***mas awal-awal. Masalah yang tak seberapa bila saja aku mau menyelesaikannya dengan uang yang tak seberapa juga. Tetapi, entah mengapa aku puas sekali. Aku puas memperoleh apa yang seharusnya memang diperoleh anak jalanan seperti Didin, tidak dengan menggunakan uang, tapi dengan menampar pola pikir juga kinerja mereka yang selalu saja bermasalah, upsss…. Bukan bermasalah, tetapi mempermasalahkan orang-orang yang tidak mengerti apa-apa dengan procedure atau uang. Bagiku sudah cukuplah penderitaan anak-anak seperti Didin ini, mereka sudah cukup menderita hidup dijalan sana. Jauh dari layak akan kehidupan anak-anak seumuran mereka. Lantas? Masih tak cukup kah? Hingga harus menyusahkannya lagi saat mereka sakit seperti itu. Open your mind…..!!!! Aku tak akan berani banyak meminta apalagi mengeluhkan perihal-perihal seperti ini, karena aku sadar, aku pun belum melakukan apa-apa untuk mereka. Tapi aku yakin, aku masih manusiaaa yang punya hati dan rasa iba, yang akan memulai melakukan sesuatu untuk mereka. Begitu juga kalian orang-orang diluar sana, pasti ada rasa iba melihat ini semua. Kemudian tanyalah pada hati yang ada didiri kalian, apa yang akan kalian lakukan untuk anak-anak sang penerus kehidupan ini?