Search

Simple-Cat-Just Love my Life

Not sure can give the inspirations, especially being people who inspire

Tag

Hidup

Fenomena Anak Gaul ke Masjid


Dua bulan terakhir ini saya cukup kecanduan dengan mengikuti pengajian di masjid. Awalnya memang tidak sengaja karena diajak seorang kawan. Penasaran kenapa masjid itu bisa penuh sebegitunya dan jadi tahu rupanya beberapa materi yang disampaikan memang cukup menyasar anak muda, lalu menarik karena ustadznya lucu. Paling tidak untuk hari-hari tertentu. Akhirnya, saya mulai menjadikan kebiasaan mengaji di masjid ini sebagai sesuatu yang tidak ada salahnya untuk dirutinkan. Selain memang materi dan ustadz yang bagus, saya anggap ini penyeimbang hidup. Ya, hidup bukan hanya perihal berangkat kerja ke kantor, nonton drama Korea di rumah, atau main saat weekend datang. Ada sisi kerohanian dalam hidup kita yang harus tetap kita isi (tidak boleh kosong). Cie….

Ustadz yang saya ikuti setiap Rabu malampun, saya pastikan memberi bahan pencerahan rohani yang baik atau sesuai dengan yang saya butuhkan. Iya, saya hanya datang sekali dalam seminggu meskipun seharusnya tiga kali seminggu. Skeptis sejak dalam pikiran membuat saya menjadi pemilih bahkan untuk urusan mengaji dan ustadz. Kebetulan, ustadznya memang berbeda tergantung hari. Dan yah itu tadi, saya hanya tertarik dengan pengajian di hari Rabu sampai akhirnya jarang sekali absen kecuali hujan deras atau mager maksimal buat keluar dari kantor. Ahahaaha.

Begitu setiap minggunya, datang, sholat, mendengarkan kajian, dan pulang. Sendirian! Iya, agak berbeda dengan akhwat atau cewe-cewe lainnya yang biasa datang bersama temannya masing-masing, dari awal ikut sampe sekarang, saya hanya sendirian. Selain belum berkesempatan mengajak kawan terdekat sendiri untuk datang ngaji bareng, saya juga orang yang tidak tertarik untuk kenal lebih jauh dengan orang-orang baru atau akhwat-akhwat lainnya yang saya temui di sana [aku mah orangnya sombong]. Hehee, kalaupun terpaksa situasi kondisi membuat saya berkenalan dengan mereka lainnya yang juga duduk di dekat saya, yah perkenalannya hanya sampai di sana saja. Kami tidak sampai bertukar nomor handphone untuk janjian duduk bareng di kajian minggu selanjutnya.

Begitulah saya yang pura-pura jadi anak masjid ini. Seperti halnya belajar di kampus, saya lebih memilih menjadi kupu-kupu alias kuliah-pulang-kuliah-pulang. Kalaupun suka mengobrol saat mau pulang atau beres kajian, saya justru mengobrol dengan beberapa kawan lelaki yang memang sudah kenal lebih dulu sebelum rutin ke masjid atau di luar rutinitas masjid tersebut dan sedang sama-samanya gemar ke masjid.

Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat yang suka saya racun untuk ikut ke pengajian ini akhirnya mau mencoba datang. Sayangnya, dia mengagendakan dirinya ke kajian akhir pekan (berbeda dengan hari saya mengaji) dengan alasan tidak masalah pulang malam saat weekend karena besoknya akan libur. Maklum, anak rumahan yang punya jam malam.

Jadilah Sabtu kemarin, dia mengumpulkan niat sepenuh hati untuk ngaji ke masjid dan tanpa saya. Saya memang tidak mengambil agenda kajian di akhir pekan dikarenakan ada agenda rutin lainnya.

Siangnya, dia bertanya pada saya, katanya kurang pede karena hanya memakai celana jeans dan kaos. Sebagainya yang biasa mengaji dengan setelan ala kadarnya yang juga sudah pasti hanya celana jeans, spontan saya jawab, ‘Gak masalah sama penampilan. Santai ajah. Toh niatnya juga memang cuma ngaji, bukan ngegaul atau ke pesta”.

Memang masalah pakaian ini bisa bikin pusing kalau mau diseriusin. Ahahahha, kalau mau melihat penampilan cewe-cewe yang datang ke mesjid tersebut, jujur akhirnya bikin mikir panjang karena cewe pake jeans kaya saya bakalan kebanting habis-habisan. “Orang semua ngaji pake baju gamis panjang, ko kamu pake jeans sama kaos doank?” Bahkan mama saya pernah negur seperti itu sanking malesnya ngeliat penampilan saya yang cuek setiap Rabu atau jadwal ngaji.

Biasanya saya hanya tersenyum. Sejak kapan ke masjid jadi diatur-atur dan kudu pake dress code? Dipikir-pikir juga emang salahnya di mana ke masjid pake jeans dan kaos? Sah-sah ajah mau pake baju apa ajah, yang penting niatnya baik alias cari ilmu kan…? [iyain ajah biar cepet]. Toh, yang pakaiannya serba panjang kaya yang lain juga, belum tentu lebih baik dari saya. #ehgimana? Ahahah.,

Kalau mau diperhatikan, emang suka lucu juga sih… Giliran yang pake setelan baju biasa kaya saya ini lewat atau keluar masuk kajian di masjid, beberapa ada yang merhatiin kaya aneh gitu. Apalagi kalo jaket yang saya pakai adalah jaket Aikido. -__-

Sementara, kalo diperhatiin juga, lah mereka yang hijabnya maksimal (maksimal tertutup dan gaulnya) ini juga terlihat biasa ajah dan gak syar’i-syar’i banget gitu. Beberapa sibuk bergosip atau ngobrol dan ketawa cekikikan. Beberapa sibuk bersolek atau dandan. Apalagi saat mau pulang atau beres ngaji. Pada sibuk dandan sama alat make up masing-masing. Lah… Kalo gitu gak ada bedanya sama saya dan temen-temen pas lagi ngumpul-ngumpul gitu. Bedanya, mbak-mbak yang pakaiannya serba panjang ini ngobrol dan ngegaulnya di masjid. Kalau saya sih, seringnya di kafe-kafe yang makanan dan minumannya murah tapi Wifinya kenceng. Hahahha. Selain itu, saya dan temen-temen juga gak sampe pake acara dandan di tempat gitu loh kalau pas lagi kumpul-kumpul. Hahahha. Tapi mungkin, yang diobrolin juga beda sih. Pasti mereka lagi ngobrolin sahabat Rasulullah. Bukan kaya saya yang ngobrolin orang lain alias bergunjing atau paling hebat juga diskusi ala-ala idalis yang sibuk mikirin negara. #eh hahhaha.

Pikiran-pikiran jelek kaya gini, kalau mau diseriusin kira-kira bisa ngurangin pahala ngaji datang ke masjid gak yah? Ahahha.

Kemarin, kawan saya yang akhirnya ikut ngaji tersebut, juga cerita kalau dia sempat gak sengaja dengar beberapa akhwat di dekatnya mengobrol. Intinya, kawan saya dengar kalau para akhwat atau mbak-mbak ini ngaji di mana ajah sesuai undangan alias gak peduli ustadz atau materi yang mau disampaikan. Kalau jadwalnya mau ngaji siang jam 1, biasanya mereka janjian lebih pagi karena harus dandan terlebih dahulu. Ahahhaa. Denger cerita-cerita macam begini, sebenarnya gak kaget sih karena emang udah paham. Akhirnya, saya cuma bisa ngakak-ngakak doank waktu denger si kawan ini cerita dengan dongkolnya.

“Mereka ini mau ngaji ko pada sibuk dandan dulu yah?” Kata kawan saya polos.

Kan dari awal udah dikasih tahu, gak usah kaget dan peduliin apa yang ada di sekitar. Hahha, fokus ngaji ajah,” begitu jawab saya sok bijak.

Seperti biasa, lalu kami keketawaan sendiri.

Setelah dipikir-pikir lagi, ya memang ini lumayan lucu. Kadang suka gak habis pikir sama yang beginian. Ketika orang atau anak muda ramai-ramai berbondong-bondong ke masjid, rupanya masjid memang sudah menjadi ranah gaul yang moderen di era seperti sekarang. Entahlah apa niat sebenarnya, tidak ada hak juga untuk menghakimi hal-hal seperti ini. Meski, heheee masih lucu ajah kalau dipikir-pikir.

Apapun dan siapapun, semoga niatnya masih sama-sama lurus deh, paling gak ini jadi pengingat ke diri sendiri. 🙂

Jogja dan Khayalanku…

Jogja…

Kayaknya memang tidak banyak orang yang menganggap atau memikirkan Jogja seperti saya. Liar. Hahahha. Kalau buat saya Bandung itu tempat kembali, Jogja lain lagi! Jogja adalah suatu kota yang gampang membuat rindu. Cie…Ahahhaha. Pasti ada cerita disetiap perjalanan ke Jogja.

Ah… Jangankan menginjakan kaki di Jogja, mikir Jogja ajah bapernya udah ke mana-mana. Sayangnya, seperti yang saya tulis di awal, gak semua berpikir seperti itu. Jadinya, mau berkhayal ramean pun gak jadi. Iyah gak apa-apa, aku mah anaknya udah biasa sendiri. [iyain aja biar cepat].

Nah… Sekarang ini, sedang rindu-rindunya sama Jogja. Kalau dipikir-pikir sih, tampak sudah lama juga gak ke Jogja. Beberapa hari lalu, sempat ngobrol juga sama temen-temen di group untuk liburan di Jogja. Jogja memang selalu menjadi opsi pertama saat wacana berlibur. Hahhaa.

Asal muasalnya mulai rindu Jogja ini karena gerimis. Jogja di musim panas aja, maksimal banget bikin hati meleleh. Gimana Jogja di musim hujan begini coba? Yang saya pikirkan adalah duduk di sebuah kafe seperti Mooikitchen sendirian, ditemani susu coklat hangat dan laptop yang lengkap dengan earphone sambil melihat ke jalan raya yang terus dibasahi air hujan melalui kaca di sebelah saya duduk.

Atau bisa juga berdiri meneduh dari hujan deras yang mengguyur Pasar Malam Sekaten, Alun-alun Utara Jogja ditemani secangkir kopi sobek merek Coffeemix. Kalau mau pilihan lain karena bosan dengan Sekaten, bisa juga mengkhayal terjebak hujan deras di Taman Pelangi Jogja, tapi tidak takut dan tidak mau pulang karena ada hal menarik lainnya yang bisa dinikmati sepertihalnya lampu taman yang berwarna-warni.

Mau yang lebih kece? Bisa! Duduk berdua melihat hujan dan menolak terang dari Gunung Gajah Kulon Progo atau dari lapang yang ada di Puncak Kosakora, Gunung Kidul. Iya, duduk berdua diam-diaman selama satu jam, dua jam dan berjam-jam. Seolah masing-masing saling menerka apa yang dipikirkan. Ini kan udah mirip banget sama Lagunya Payung Teduh yang judulnya Mari Bercerita. Hahhaha. Kalau saya sih jelas, diam di depan landscape yang kece dan hujan itu biasanya berkhayal. Mengkhayal apa? Ah… Rahasia deh… Nanti kamu yang baca tulisan ini bisa gila kalau harus masuk dalam khayalan dari sebuah khayalan. Halah… Ribet banget! Mengkhayal pangkat dua dan bahkan pangkat tiga itu butuh kekuatan, butuh energy. Kalian, belum tentu bisa. Mending banyakin minum dulu aja sana. Ahahahha.

Yayaya,,,, jadilah ini kangen Jogja maksimal. Nyebelinnya lagi, tidak sengaja membaca tulisan ini http://mojok.co/2014/10/sinisme-untuk-yogyakarta/. Tulisan yang bikin badan jadi panas dingin karena sudah bingung bagaimana lagi harus mengungkapkan kerinduan sama Si Jogja ini. Saya bisa jadi manusia paling lebay peringkat dua di Jabar karena peringkat satu lebay tingkat Jabar itu masih diduduki sama kepala daerah saya jika diajak bercerita tentang “perasaan dan Jogja”. 😀 Sanking lebaynya, dulu saya pernah bermimpi punya suami orang Jogja. Niatnya sih, supaya kalau lebaran, bisa mudik berkereta sama suami dan anak-anak menuju Jogja. Ah damn,,,, ini kan lucu plus romantis banget. Huhuuuuu… Bayangin si anak-anak ketemu sama sepupu-sepupunya di Jogja itu udah kece banget.

Tapi tenang, saya sudah lama move on dari khayalan memiliki suami orang Jogja. Hahahhahaha. Setelah dipikir-pikir, keromantisan Jogja ini gak hanya bisa dinikmati bareng orang Jogjanya sendiri apalagi saat mudik. Banyak cara juara lainnya yang bisa dipikirin, apalagi buat orang tukang ngayal kaya saya. Hahahah.

Jadi, kapan kita ke Jogja lagi? Bukan, bukan untuk memunguti kenangan. Sebaliknya, kita membuat kenangan di sepanjang Jalan Malioboro dan tempat-tempat indah lainnya. 🙂

Tentang Aksi ‘Kemanusian’

Udah Jumat siang ajah nih, udah gajian eh maksudnya orang-orang udah beres kan bersiteru tentang hal-hal yang berhubungan dengan ‘prayforParis’?  Udah lah yah kayaknya. Udah lama berlalu juga, masa lalu biarlah berlalu dan gak perlu kita kenang lagi. Udah cukup banyak tulisan-tulisan yang saya pikir memang ditulis oleh orang-orang yang berfikir secara terbuka dan mendorong orang lain juga menjadi lebih terbuka. Salah satunya, beberapa tulisan tentang solidaritas kepada Paris di sebuah media yang katanya satir tingkat tinggi yaitu Mojok.co.

Eh tapi, sebenarnya saya juga punya pandangan sendiri sih sama berantemnya orang-orang yang saling sindir masalah solidaritas ini. Heheheee. Jadi boleh donk yah sekarang saya nulis lagi pendapat saya tentang masalah solidaritas Paris yang banyak dipertanyakan ini. Mumpung situasinya udah adem.

Mungkin benar kata Mas Eddward S. Kennedy dalam tulisannya di Mojok.co, terdapat dua tipikal netizen di dunia di Indonesia ini.

Mengutip dari tulisan beliau di sini http://mojok.co/2015/11/kemanusiaan-macam-apa-yang-mereka-maksud-sebenarnya/ :

Tipe pertama adalah mereka yang meributkan–baik dengan sinis maupun menyindir manis–persoalan remeh macam pergantian foto profil Facebook terkait tragedi kemanusiaan.

Biasanya gerombolan tipe ini akan dengan pongahnya menyeran orang lain sambil mengungkit tragedi lain yang lebih dekat secara geografis maupun psikologis.

Tipe kedua, mereka yang tampak begitu luar biasa sucinya seperti para utusan langit. Tiap ada tragedi kemanusiaan, gerombolan ini dengan segera berkhotbah soal moral, tentang pentingnya menghargai sesama, atau tentang betapa indahnya suatu keberagaman. Begitu bijaksananya khotbah mereka, hingga tiap orang yang membaca atau mendengarnya, juga akan mencium bau semerbak bunga Kasturi seperti di makam Saad bin Muaz.

Biasanya, ini biasanya lho, ya, tipe gerombolan macam ini berada dalam lingkaran para intelektual maupun budayawan, ups, menara gading. Mereka yang bersekolah tinggi, khatam membaca buku-buku babon, dan dalam setiap topik pembicaraan kerap mengaitkannya dengan Hak Azasi Manusia.

Yah benar, kedua tipe ini hadir disetiap momentum adanya peristiwa yang menarik perhatian banyak pihak dengan tagline kemanuasiaan. Jujur, saya mungkin akan masuk menjadi bagian tipe kedua. Bukan, ini bukan karena saya kepalang suci atau bagian dari kaum intelektual apalagi bagian dari kaum budayawan. Saya ma apa atuh, cuma tukang curhat spesialis galau. :)))

Menjadi bagian dari tipe kedua ini adalah sungguh karena itu adalah pilihan termudah menurut saya. Buat saya yang gak suka ribet sejak dalam pikiran, ngapain kita pusing nge-sinisin orang-orang yang ‘katanya’ hanya berusaha bersolidaritas dengan apa yang terjadi. Hai kawan, sungguh itu hak mereka! Buat apa kita membanding-bandingkannya dan lalu menghakimi aksi solidaritas tersebut dengan tragedi lain. Kaya yang udah saling kenal jauh ajah. #eh… Yang sudah saling kenal jauh dan lama ajah masih bisa salah mengira, apalagi kalian yang hanya gak sengaja gabung di satu group Line atau gak sengaja temenan di FB atau Instagram karena hubungan relasi pertemanan yang sebenarnya udah kepalang jauh.

Yang menyebalkan lagi, kadang jadi ikutan nyerempet-nyerempet mempertanyakan masalah media yang dinilai berlebih sama peristiwa yang terjadi saat ini. Lalu, melupakan peristiwa yang sudah terjadi sejak dulu dan bahkan masih sampai sekarang. Sebagai seorang mantan tukang tulis berita yang sebagian waktunya juga dihabiskan untuk membaca dan mencari bahan-bahan tullisan dari media luar, saya bisa bilang orang-orang yang mikirnya begini adalah orang-orang yang kurang baca. Sering-seringlah buka BBC News, Wall Street Journal, Washington Post, atau di media Islam lainnya juga ada.

Nah… Supaya gak sotoy-sotoy banget sama pengetahuan yang minim dan supaya pandangan saya agak lebih terbuka, beberapa hari yang lalu saya coba diskusi bareng seseorang yang saya pikir punya ilmu komunikasi cukup oke. Abang-abang yang profesinya dosen ini, kebetulan juga jurnalis senior, dan dulunya suka saya bajak sebagai narasumber. Hahahhaa.

Berikut obrolan (bukan wawancara) dengan Si Beliau yang saya kutip (karena kalau mau diolah jadi tulisan, agak males) heheh 😀 :

Saya : Bang, hohoooo. Aku nanya donk, kalo sekedar mengemati, pendapatnya ttg tagar2 semacam pray for dan simpati2 ke Paris dr nettizen yg dinilai berlebihan lalu dibanding2kan ma Palestin Bosnia dll yg juga pembantaian terjadi tiap saat gmna? Terus prespektif org ke media juga jdi gitu. Gak imbang lah apalah… Beri pencerahan donks.

Si Beliau : Nah, soal flaged picture.. tentunya beda menurut gw, kalo mau bandingin kasus paris dengan yg terjadi di suriah, lebanon, palestina. Di paris, boleh disebut kawasan damai. Sementara suriah, lebanon palestina, adalah kawasan perang. Sejak bertahun2 ga cuma orang perorang, bangsa2 dan organisasi bangsa2 juga sudah mengecam peperangan itu, bukan cuma prihatin atau bikin aksi2 di medsos doang. Malah ada yg ikut PBB ngirim bantuan, ke gaza, ke beirut, dst. Serangan di paris sama juga dikecam orang banyak ketika tragedi rohingya, atau ledakan bom bunuh diri di karachi, atau di chile, dst. Jadi kalo ada yg ngomentari, bahwa keprihatinan orang ke paris sebagai wujud standard ganda karena tidak peduli pada lebanon, suriah, palestina, ya menurut sayah mah, dia tidak berpikir kategoris dan a historis. Hehe.. Tapi, namanya jaman bebas ngomong apa aja di medsos.. ya biarin aja deh.. medsos kan rejimnya anarkis..

Saya : Terus, kalo dibilang media gak adil dgn minimnya pemberitaan trhdap isu2 palestina atau suriah yg pembantaian terjadi tiap saat? Apa ini yg bkn org awam mikir, media akhirnya tampak timpang dengan menilai “ah biasa ajah kalo palestina, emang kawasan perang.” Dan justru itu yg dianggap gak adil. Pdahal sih kalo aku baca2 media luar mah pemberitaan yah tiap saat juga. Ini masalah momennya skrg terpusat ke paris dan breaking news doank.

Si Beliau : Di dalam teori jurnalistik, peristiwa bernilai berita itu ya masalah yg terkait dan berkepentingan dengan masyarakatnya bukan? Kalo Indonesia sedang tidak punya kepentingan dengan kawasan perang, ya ga jadi berita. Hehe.. waktu ISIL pertama nyerang 2 tahun lalu, media massa memberitakan karena ada evakuasi WNI. Setelah itu, ya satu dua berita aja. Kalo perancis, inggris, rusia, AS terus memberitakan, karena mereka mengirim tentara ke sana. Jadi masyarakatnya pengen tau, bagaimana nasib tentara mereka.. Bukan karena tidak peduli pada issu kemanusiaan.. bayangin, kita meliput perang seperti liputan olimpiade. Setiap hari media mssa melaporkan, berapa bom dikirim, berapa orang mati, berapa kota dikuasai dst, kayak tabel medali.. Itu juga berpengaruh buruk pada masyarakat yg tidak terlibat peperangan. Dalam teori kultivasi, kalo orang terpapar berita negatif setiap hari berjam2, maka dia akan beranggapan bahwa dunia sekitarnya tidak aman dan memandang dunia secara negatif pula. Saya malah kuatir, pihak2 yg meminta kita memberitakan terus peperangan di suriah dan palestina, adalah pihak2 yg sedang mencari kader2 jihadis. Karena peperangan juga terjadi di rwanda, etiopia, ghana, guatemala. Kenapa mereka ga nyebut2 itu? Kenapa cuma perang di timur tengah? Apakah karena perang di tempat lain tidak berkaitan dengan saudara se agama? Nah, kalau itu jawabnya, maka mereka yg minta agar kita peduli palestina, sedang tidak ngomongin soal trahedi kemanusiaan, tapi perang suci agama. Jihad. Padahal, di palestina dan suriah, tidak semua warganya muslim, banyak juga yg nasrani.

Semoga tulisan sotoy ini, tidak mengganggu cara pandang Anda yang membaca dan tidak menjadikan jarak antara kita. Hehhe. 🙂

Bapak dan Lelaki Yang Tak Kunjung Tampak

Lebaran datang ketika Bapak belum lama pergi dan Lelaki itu tak kunjung juga mulai melangkah ke sini. Tak ada lagi panggilan hangat ketika sahur, meski samar-samar Bapak kerap juga datang melalui mimpi. Ketika bangun Bapak tetap tak ada. Aku pernah mencoba untuk tidur kembali, berharap suara itu semakin lama semakin nyata. Aku kembali bermimpi, memang. Panggilan itu tak lagi sekedar untuk membangunkan, tetapi kami berbicara sedikit lebih panjang. Aku katakan bahwa aku malas untuk bangun. Dingin, kataku. Bapak tersenyum, seperti biasa. Ayo anak Bapak bangun, anak perempuan Bapak kelak akan jadi orang pertama yang bangun di keluarga barunya, begitu kata Bapak. Mataku mulai menghangat. Itu di dalam mimpi. Semua kembali hilang ketika aku benar-benar tersadar. Berulang kali aku melakukan itu, Bapak tak pernah benar-benar kembali ada. Perlahan aku mulai lebih menyenangi hidup di dalam mimpi.

Lelaki itu hadir tak lama sebelum Bapak pergi. Dia cucu orang terkenal di kota ini. Entah  ada hubungannya atau tidak, dia juga adalah orang yang terkenal. Aku mengenalnya melalui sebuah wawancara dimana aku adalah si pewawancara dan dia adalah narasumbernya. Dia satu dari banyak orang yang aku wawancarai untuk memenuhi tuntutan pekerjaanku, dia satu dari tak banyak orang yang membuatku menyalahi kode etik pekerjaanku: jatuh hati dengan narasumber.

Sejak itu aku menjadi gila. Gila sendiri, dia tidak. Aku mulai mencari dan mencuri waktu untuk bisa menemuinya. Ada beberapa alasan yang masuk akal pada mulanya, namun tak tersedia cukup untuk dia yang makin gila.

Dia menyukai tulisanku. Barangkali benar bahwa apa yang ditulis dari hati juga akan sampai ke hati. Aku menuliskannya dengan hati, tapi aku tak terlalu yakin apakah dia memujiku menggunakan hatinya. Dia bertanya apakah ini akan naik cetak. Aku menjawab bahwa ada beberapa persyaratan yang mesti dipenuhi terlebih dahulu. Sederhananya jumlah eksemplar. Tempatku bekerja sudah seperti perempuan manja yang baru berbaik hati saat diimingi sesuatu. Dia menyetujuinya. Aku sumringah. Aku meminta pada bosku bahwa aku saja yang mengantar ratusan eksemplar itu. Bosku setuju. Itu alasan masuk akal pertama untuk kembali menemuinya.

Alasan berikutnya cukup membuat hatiku bingah. Ada satu penulis kenamaan kota ini yang baru saja meluncurkan buku barunya. Penulis ini adalah teman dekatnya. Dia mengatakan bahwa ada satu buku yang sengaja dia minta kepada penulis itu khusus untukku. Dia tahu aku menyukai penulis ini. Dia tak tahu bahwa aku sudah membeli buku ini beberapa hari lalu. Tapi segalanya adalah lumrah bagi orang gila, aku katakan akan segera menemuinya ketika kesibukan tugas kerja sudah mulai bisa diajak berdamai. Kami sepakat. Janji menggantung di langit. Entah kapan bisa bertemu.

Sering aku mengabarinya sesuatu, mulai duluan mengajaknya bicara. Aku bisa begitu cerewet, dia membalasnya hanya sesekali. Maklum, orang sibuk, selain cucu orang terkenal, dia juga adalah pemilik beberapa buah café di kota ini. Terkadang juga pesanku baru dibalas beberapa jam, beberapa hari, atau minggu setelahnya. Dia benar-benar sibuk, bukan? Bahkan untuk sekedar membalas sebuah obrolan.

Tapi bukan gila namanya bila tak asik menunggu. Beberapa teman memang menyarankanku untuk terus menunggu. Tapi menunggu untuk apa? Dan menunggu apanya? Mereka memotivasiku dengan banyak sekali kalimat motivator selayaknya yang banyak di televisi, baik yang berupa motivator maupun yang berbentuk seorang ustad/ustadzah. Ternyata banyak temanku memiliki bakat untuk bisa tampil di televisi. Aku ikut saja, menunggu, toh tak banyak juga pilihan yang tersedia bagi orang yang gila.

Beberapa lagi yang lain menyarankanku untuk berani mengambil satu atau dua inisiatif menemuinya. Tentu saja ini adalah ide gila, termasuk bagi orang gila sepertiku. Tapi aku ikuti juga sesekali.

Pada suatu sore aku datang ke cafenya. Sendirian saja. Aku mulai berkenalan dengan para pegawainya, dengan tukang parkir di depan cafenya, dengan penjaga kebersihan di samping cafenya. Semuanya aku beri senyum terbaik di hari itu. Kelak, kalian juga akan menjadi bagian dari hidupku, begitu optimisku di dalam hati. Aku masuk ke dalam cafenya, melihat sekeliling. Tak ada dia. Tak apa. Aku bisa menghirup udara di tempat itu sebanyak yang aku mau dan aku keluarkan sesedikit mungkin. Kau tahu bahwa aku perlu menyimpan aroma tempat ini, menyelamatkan sebanyak mungkin rasa yang pernah aku kenali. Hingga malam dia tetap tak hadir. Aku memutuskan untuk pulang saja sebelum datang jam malam untuk seorang perempuan. Di meja, strawberry milkshake dan cappuccino dingin sudah tandas sampai ke dasar gelas. Dua minuman yang aku habiskan tak lama setelah aku duduk di tempat itu. Iya, seperti dugaanmu, aku gugup.

Kali berikutnya aku datang bersama hujan. Aku masuk ke dalam dan hujan menunggu saja di luar, begitu pintanya. Aku kembali memesan minuman yang sama. Sedangkan hujan bermain dengan para tukang parkir, pegawai café yang sedang merokok, dan petugas kebersihan yang sedang berteduh. Hujan juga harus bisa akrab dengan para calon pegawaiku, pikirku sambil mengulum senyum terdalam di hari itu. Hujan bermain dengan rinai dan rintik. Aku tahu dia sengaja membuat suasanya menjadi lebih syahdu, seperti pesananku padanya sebelum tadi kami berpisah di pintu café. Strawberry milkshake dan cappuccino hangat habis dalam waktu singkat. Strawberry milkshake memberiku ketenangan akan sesuatu yang manis, sebagaimana aku mengharapkan hidup ini akan terjadi. Sedangkan cappuccino memberiku sedikit suasana pahit. Iya, sedikit saja. Tak boleh banyak-banyak. Hidup ini tak boleh sepahit yang sudah-sudah. Setelah jam malam hampir datang, aku pulang saja. Sendirian, hujan sudah duluan barangkali karena bosan.

Kali berikutnya aku beruntung. Aku datang sedikit lebih siang, selepas makan siang. Aku masih duduk dan memesan minuman yang sama. Di meja ujung sana, tampak kamu yang sedang sibuk dengan teman-temannya. Serupa sebuah rapat yang kelewat serius pada akhir pekan yang sejuk ini. Aku mengamatimu. Iya, kamu masih semengagumkan itu, meski sesekali wajahmu terhalang oleh daun pohon kecil yang ditempatkan persis di antara kamu dan aku. Ah, daun tahu juga bagaimana cara mempermainkanku. Aku yakin dia bersekongkol dengan angin. Ya Tuhan, kami berjalan ke arahku. Ya Tuhan kamu menyadariku bahwa itu aku. Kamu menyapaku dan aku menjawabnya dengan sekenanya, maklum kikuk. Tak lama waktu bagi kita bahkan untuk sekedar bertukar sapa. Kau katakan bahwa aku boleh memesan apa saja. Tentu saja begitu, setiap pengunjung café ini tentu boleh memesan apa saja. Kau katakan bahwa kau harus kembali rapat dengan temanmu. Tentu saja, aku tahu itu. Kamu memang sibuk sekali ya, Tuan Muda. Aku pulang sedikit setelah jam malam lewat, kamu sudah tak ada. Tak tahu ke mana. Aku pulang saja, tak usah pamit, sebagaimana kamu juga masuk ke hatiku tanpa permisi dan hari ini meninggalkanku di ‘rumahmu’ tanpa pamit. Aku pulang, aku tak seberuntung dugaanku.

Pernah juga aku mencoba mengurangi kegilaanku akanmu. Aku pernah ke luar kota bersama beberapa teman di mana ada salah satu orang yang sepertinya juga menyukaiku. Aku bisa saja menggantikan dirimu dengan dia, terlebih adalah dia yang nyata di hari itu. Tetapi alih-alih bayanganmu memudar, malah wajah dia yang berubah menjadi sepertimu. Ah, makin gila ini, pikirku. Aku kemudian berhenti berfikir yang tidak-tidak. Aku tak akan kuat bila seluruh pegawai becak di sepanjang Malioboro akan berwajah sepertimu, atau seluruh penumpang kereta ekonomi ini jadi mirip kamu, atau bahkan abdi dalem di keraton Sultan yang bergaya kuno itu. Satu wajahmu sudah membuatku gila, apalagi ratusan.

Setelah itu aku tak lagi punya waktu untuk mampir ke tempatmu. Ah, tentu saja aku bohong. Aku punya seluruh waktu di dunia ini bila hal itu menyangkut dirimu. Tapi aku urungkan saja. Aku orang gila, butuh tidak gila juga sesekali. Dan di tengah jeda inilah Bapak terbaring. Sakit lamanya kambuh dan semakin parah. Aku segera pulang menyeberangi pulau. Tak lama setelah aku datang, Bapak pergi. Dan kau tahu, iya… pergi untuk tak akan kembali lagi. Bapak menuju pelukan Tuhan.

Kabar duka menyebar serupa kelelawar terbang berhamburan dari goa karena dikagetkan entah oleh apa. Gelap, terbang ke segala arah. Tapi tentu saja kau tak akan mendengar kabar itu. Kau bukan bagian dari goa kami, dan tidak juga berada pada wilayah di sekitar gua. Akhirnya dengan kondisi hati yang masih tak menentu, aku mengabarimu. Aku bertanya kamu di mana saat itu. Kamu bertanya balik apa yang bisa kamu ganggu. Aku tersenyum sedikit, iya sedikit saja. Gurauanmu mampu membuatku tersenyum lagi setelah keadaan memaksaku untuk tidak. Meskipun sedikit, itu tetaplah sebuah senyuman, terlebih dikarenakan kamu. Kau kemudian mengatakan bahwa kau sedang di luar negri. Ah, kau ternyata sedang liburan. Tentu tak baik mengabarimu perihal duka ketika kau sedang penuh suka. Aku urungkan niatku. Biarlah duka ini tak perlu dibagi, agar dia tak menjadi-jadi apalagi menjadi abadi. Duka, kamu cukup ada di sini.

Setelah itu aku menjadi murung. Aku tak segila dulu lagi, Tuan Muda. Aku lebih memilih terpaku di kamarku. Atau di ruang tengah di mana foto pernikahan Bapak dan Mama berukuran besar di pajang. Di foto itu, Bapak dan Mama selalu muda. Akhirnya aku memilih perjalanan yang lebih sunyi, aku memilih untuk menuliskan semua kisah tentangmu. Kau tahu, menyenangkan sekali memindahkanmu ke dalam bentuk aksara. Aku bisa menambahkan bagian apa saja dalam jalan ceritanya. Seperti dugaanmu bahwa aku tak perlu berbohong untuk menuliskan betapa bahagianya aku setiap kali mengingat imajinasiku bersamamu. Hahaha… iya, itu masih saja imajinasi sayangnya. Aku akan mengumpulkannya nanti ke dalam sebuah buku. Kalau ada tabungan akan aku cetak baik-baik, kalau tidak cukup tabungan aku cetak baik-baik untuk diriku sendiri.

Ramadhan datang, mengekalkan kehilangan Bapak. Ini Ramadhan pertama tanpa bapak. Ini sahur-sahur pertama tanpa Bapak. Ini berbuka-berbuka puasa pertama tanpa Bapak. Ramadhan lewat tanpa banyak hal yang semakin hilang. Dan tiba-tiba sudah lebaran.

Ini lebaran pertama tanpa Bapak. Di ruang tamu, setelah sholat ied yang kelewat pendek, hanya ada dua orang perempuan. Aku dan Mama.

Sama-sama sepi, sama-sama merindui lelaki kami.

Sebuah prolog dari seorang kakak, Rumah Kaca. Ditulis pada 30 Juli 2014 atau tepat beberapa hari setelah Idulfitri tahun lalu.

Makna Mimpi

Pasti ketika melihat judulnya, kamu berpikir kalau saya bakalanan bikin ulasan tentang makna-makna mimpi seperti mbah-mbah di luaran sana yang waktunya luang banget untuk menafsirkan makna mimpi kamu yang lebih banyak mimpiin mantan atau kecengan atau bahkan baru sebatas mantan calon kecengan. Gak! Saya mah gak gitu orangnya! Saya mau realistis aja… [eh… Ini bahas apaan sih?] Hahahha.

Ada yang pernah bilang ke saya kalau mimpi saat mata terbuka lebih berbahaya dari mimpi saat mata tertutup [re: tidur]. Tapi, buat saya sih… Hampir sama aja. Mimpi ketika tidur itu kadang nyebelin. Biasanya banyak yang ngegantung alias pemberi harapan palsu. Ini terasa nyiksa banget kalau lagi mimpiin kecengan! Iah, t.e.r.a.s.a. Sementara itu, mimpi dengan mata terbuka juga bisa membuat kita kehilangan akal sehat dan berujung pada gila. Makanya sering terlontar kalimat seperti ini, ‘tidur dulu hei, baru mimpi!’.

Bicara mimpi dengan mata terbuka, ini salah satu alasan kenapa saya punya kontak salah satu dokter jiwa di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Hehehee. Ya… Gak karena saya mengarah ke gila juga sih. Sebenarnya, dalam salah satu group WA yang isinya geng reporter garis keras, kontak dokter ini sering banget di sharing ketika salah satu sudah mulai mengarah pada ngalor-ngidul yang gak bisa diprediksi berujung pada apa. Terus masing-masing dari kami juga sudah lebih dulu punya kontak si dokter, karena emang sebelumnya pernah melakukan wawancara dengan beliau.

Di sisi lain, kadang kami juga sadar kalau semua dari kami sebenarnya butuh konsultasi ke si dokter tersebut. Iya, Si Dokter emang mau-mau ajah kalau diminta konsultasi gratis. Boleh banget!!! Asal gak punya malu ajah. Udah sakit jiwa, minta konsultasi gratis pula. Huft… Gak paham lagi…. -_-!

Oia balik lagi ke mimpi…

Nah karena saya anaknya pemimpi yang gak tahu diri alias suka berimajinasi tanpa batas dan ngayal ini itu gak jelas, saya pastikan kontak si dokter ada di hape saya dan gak kehapus. Bisi! Iya, bisi butuh gitu. Karena sebenarnya kalau menurut saya sih penulis pasti harus bisa ngayal. Jadi ngayal dan mimpi ini gak haram-haram banget lah. Tapi tetap harus jaga-jaga juga supaya tetap dalam batas frekuensi yang bisa dijangkau orang normal di luarin sana.  Karena apa? Karena orang setres, sudah mengarah ke gak normal… Ok!

Oke, kita case closed masalah mimpi mata terbuka.

Nah, buat saya sih, mimpi dengan mata tertutup juga bahaya loh… Siapa yang nyangka dan mau, kalau pas tidur kita mimpiin mantan? Itukan malesin banget yah… Berasa dijajah sama mantan sampe alam bawah sadar. Lagian, siapa dia berani-beraninya masuk ke alam bawah sadar kamu tanpa minta izin? He? Dia pikir kamu luang banget apa buat mimpiin mantan yang kaya dia doank [sekarang sih bilangnya ‘kaya dia doank’, padahal dulu beda lagi]? Dan itu terjadi setelah semua yang dialami bersama dalam suka dan duka? Kan ngebetein banget jadinya. Huft.

Atau saya juga sering denger kasus ketika temen di group WA geng yang berbeda cerita kalau dia mimpiin kecengannya… Jadi katanya, di dalam mimpinya itu, mereka kaya hidup bahagia lagi jalan-jalan naek mobil sambil gendong anak. Masalahnya kan mimpi itu suka abstrak, jadi gambaran seperti itutuh ambigu pisan… Di satu sisi mirip keluarga kecil bahagia, tapi di sisi lain itu bisa juga merepresentasikan baby sitter + supir yang abis jemput anak majikannya pulang sekolah. Heu… Sedih kan…

Terus mendadak ingat, dulu ada temen yang pernah mimpi katanya dia lagi nge-EO pernikahan saya dengan seorang yang saya impi-impikan [iya, ini emang cowo sebatas impian] di sebuah cafe sederhana di Bandung gitu. Wah… Kalau temen saya mimpi tentang saya dan dia sih, dulu saya suka penasaran gimana cerita detail dan kelanjutannya. Tapi sekarang-sekarang sih, udah males bayanginnya. Alhamdulillah, otak sama hati mulai sinkron.

Nah, untuk hal-hal semacam ini saya selalu menggantungkan dream catcher di langit-langit kamar tidur. Karena di rumah Bandung ini ada dua kamar yang suka saya pakai buat tidur alias pindah-pindah, akhirnya dua kamar itu saya gantungin dream catcher. Mungkin kamu bisa coba? Biar apa? Ya… Biar mimpi buruk kamu ditangkap! Kalau perlu ditangkap semantan-mantan kamunya juga, lalu dihempaskan ke lahan gandum yang dihujani meteor coklat sehingga jadilah dia Coco Crunch yang biasa kamu makan. Cerdas! Pasti akan langsung kamu muntahin tuh Coco Crunch. Supaya apa? Yah supaya hidup kamu gak makin ribet sama urusan mantan!

Oia, masalah dream catcher ini sebenarnya bukan karena terlalu percaya dengan culture atau budaya orang-orang pribumi Amerika seperti ditipi-tipi juga sih, tapi yah buat hiasan ajah dan kalau beneran bisa nangkap mimpi buruk ya anggap aja itu bonus. Saya jadi ingat film Korea yang judulnya Heirs, bahkan film ini aja menyisipkan cerita akan ketangguhan si dream cather dalam menangkap mimpi buruknya si pemeran utama. Waktu itu mimpi buruk si wanita adalah jatuh cinta sama orang kaya. Drama!

Ehm tapi kalau saya sih, supaya gak dijajah ama mantan dan dijajah sama rasa yang dulu pernah ada aja. Rasa cinta yang gak sampai atau bertepuk sebelah tangan lalu menghantui alam sadar dan tidurmu [jleb…. pisau mana pisau?]. Hahahahahha.

Next, ada satu mimpi tidur lagi yang nyebelin, yaitu adalah mimpi kerja. Fuh… Dulu saya suka banget mimpi liputan. Yah gimana gak mimpi liputan, rutinitas sebelum tidur itu adalah rencana akan liputan apa besok dan nulis isu apa. Begitu terus nyaris setiap hari. Kalau udah begini, ya wajar ajah itu muka redaktur sampe ikut ke dalam mimpi. Kebayang kan? Udah seharian mikirin liputan, deadline, revisi, eh masih ikut sampe ke mimpi. 😦

Tapi belakangan udah jarang sih mimpi liputan… Sampai resign, juga alhamdulillah gak pernah mimpi liputan. Mimpi liputan ini menurut saya hampir sama kejamnya dengan mimpiin kecengan yang ngasih surprise pizza berlilin untuk ultah cewe yang dia taksir. Iya, kurang lebih…

Sekarang setelah saya pindah kerja, kurang lebih udah dua minggu, dan akhirnya saya mimpiin pekerjaan + orang-orang di kantor saya yang baru. Saya terkejut, serius. Hahaha. Kayaknya ini terlalu cepat untuk merasa dijajah sama pekerjaan yang baru. 😦

Jadi, sebenarnya pesan moral tulisan ini adalah berdoa sebelum tidur biar gak mimpiin mantan dan terlebih mimpiin mantan calon kecengan yang nyeseknya bisa berapa hari berapa malam dan gak sembuh hanya dengan Panad*l. Eh.. Maksudnya biar gak mimpi buruk.

-R-

Cinta, Butuh Balasan atau Alasan?

Selamat pagi dari rasa yang sudah biasa ada….
Karena rasa yang sudah biasa hari ini disponsori oleh kecengan sahabat saya yang pelit bukan lagi sejak dalam pikiran, tapi sejak urusan cinta.

Jadi ceritanya, salah satu sahabat saya yang sebut saja namanya Ijem bakalan ultah dua minggu lagi. Sebagai hadiah, saya pengen kasih kumpulan greeting birthday dari orang-orang terdekat dia dalam bentuk foto.

Waktu itu, saya tanya dia pengen ucapan ultah dari siapa aja? Dia jawabnya pengen dari Jebraw, Bisma, teman-teman kuliah dan kecengan dia yang kita sebut saja namanya Basro. Awalnya, saya pikir minta ucapan selamat ultah dari si Jebraw dan Bisma yang notulennya artis bakalan menjadi yang paling susah.

Oia, ada satu lagi…. Dia pengen dapat ucapan dari actor Korea Lee Min Ho. Lucuk sekaligus sedih saya dengarnya. Sebenarnya gak terlalu kaget sih dan saya iya iya aja. Ya ma’lum lah, kami memang golongan orang-orang pemimpi yang gak tahu diri. Logika ajahlah yah, pengen dapat ucapan dari artis Korea. Kami pikir kami ini siapa? Hm? Nge-email Si Jebraw dan Bisma yang artis local ajah kudu ngespam di email mereka tiap hari. Berasa menjadi penggangu hidup gitu. Parahnya gak dibalas pula dan masih aja kirim email. Hahahahha.

Apalagi mau kirim email ke Min Ho? Memangnya kami pikir waktu luang si Min Ho ini banyak apa kaya kami yang tiap saat membunuh waktu gak jelas di WA? [lalu menampar diri sendiri]

Yasudah, lupakan aja dulu impian si Ijem dapat ucapan ultah dari Min Ho. Yang menjadi PR saya banget adalah cari ucapan ultah dari si Basro. Perlu saya tekankan, saya gak suka sama si Basro ini dan sebenarnya agak malas-malasan juga ngehubunginnya.

Oke, kita runut dari awal tentang hubungan Basro dan Ijem…

Jadi, Si Ijem ini udah naksir Basro dari sekitar dua tahun yang lalu. Eh, sepertinya dari tiga  tahun yang lalu sih. Awalnya, Saya dan Ijem ini kenal sama Basro karena kami sama-sama di komunitas pengajar anak jalanan. Terus yah entah apa yang menarik dari si Basro, sampe akhirnya si Ijem naksir.

Selayaknya cewe naksir cowolah, cari perhatian, chating dan entah si Ijem ini sudah ngapaen ajah. Pokonya banyak. Namanya juga usaha.

Oke… Sampe sini saya gak bisa bilang apa-apa kecuali memotivasi sahabat sendiri. Sering saya bilang, “ya usaha ajah terus. Karena besok, ketika Tuhan membolak balikan hati kita, belum tentu kamu masih mau merjuangin si Basro.”

Satu tahun, dua tahun, dan selalu berlalu begitu saja. Tanpa kejelasan. Tanpa ada balasan lebih dari selayaknya seorang teman. Tanpa ada rasa menyerah juga dari si Ijem.

Akhirnya, kami mengkategorikan si Basro ini agak-agak terbelakang karena gak bisa nangkep kode dari Ijem. Dan… Sampe si Ijem ngungkapin perasannya ke si Basro, ngasih alasan kenapa dia selama ini begitu kenapa selama ini begini, si Basro masih terbelakang. Si Ijem gagal membuka mata si Basro.

Kalau gak salah, itu diungkapkan sama si Ijem tahun lalu.

Nyatanya, Basro juga gak pernah kasih kejelasan dan bagaimana perasaan dia. Apakah hanya menganggap si Ijem ini teman atau lebih atau bagaimana. Kalau gak salah, Si Ijem cuma dapat terima kasih. Hahahahhahaha. Ya masih ada bagusnya lah yah, si Basro masih ngucapin terima kasih. Huft…

Rupanya, waktu gak buat si Ijem ini kapok alias belajar. Pesan-pesan yang gak berbalas, WA yang diabaikan, janji-janji yang dilupakan, dan semuanya masih menjadi pengharapan buat Ijem. Di posisi seperti ini, saya pengen jedotin kepala si Ijem ke dinding supaya dia sadar.

Semenjak itu juga, Si Basro ini minus setriliun buat saya. Kesimpulan tentang si Basro menurut saya adalah, pengen terus-terusan dikejar. Pengen terus-terusan diperjuangkan. Sampe kapan? Lha si Ijem ajah udah ngabisin waktu tiga tahun tanpa kejelasan. Ya mungkin, Basro pengen diperjuangkan sampe kiamat kali ya…

Tapi, urusan hati, yah tetap ajah urusan pribadi si Ijem. Saya sih sering ngingetin untuk, “ayo… udahlah! Apalagi yang harus diperjuangkan?”

Lah… beneran, ngapaen buang-buang waktu merjuangin orang yang gak merjuangin kita? Hahahhha, kalau lagi bener sih saya nasehatin begitu. Kalau lagi rempong sama masalah sendiri, saya mah nasehatinnya standar aja… “Ya… cuma kamu yang tau mana yang baik dan gak.”

Kadang saya juga kesel sih, dia curhatnya itu-itu aja. Dan, udah ribuan kali nasehatin hal yang sama, “tinggalin tuh si Basro…..”

Paling jahat, WA dia cuma saya baca doank. Karena ga paham lagi kudu nasehatin pake bahasa yang gimana… 😦

Kadang sih, si Ijem ini sadar. Dia bilang mau move on, mau ngelupain si Basro dan pokonya mau udahan lah. Tapi Ijem juga manusia, dia banyak hilang ingatannya.

Oke, kurang lebih begitulah asal muasal kenapa saya gak suka sama si Basro.

Tapi celakanya, sekarang saya justru harus ngemis-ngemis supaya si Basro bikin ucapan  selamat ultah. Namanya juga demi sahabat, bisa apa…

Sampailah beberapa hari yang lalu, saya WA si Basro. Acting ramah dan mengungkapkan maskud dan tujuan menghubungi dia. Si Basro sih awalnya sok bego gitu, nanya-nanya maksudnya gimana dan bla-bla-bla…

Yassalam….

Kalau gak mikirin si Ijem, saya mah ogah dah menghubungi si Basro yang sombong dan sibuknyanya udah melebihi artis.Tapi, akhirnya si Basro janji katanya mau ngasih. Udah oke gitu…

Satu hari lewat begitu saja…

Besoknya, saya ingatkan lagi si Basro ini sama janjinya. Dan, WA saya dibaca nyaris 24 jam setelah saya kirim. Terus si Basro balas, “oia lupa,,,, masih sempat gak? besok ingatkan lagi yah…”

Nah kan, si Basro sekarang mulai ngelunjak lagi. Setelah nyuruh Ijem ngejar-ngejar dia, dia pikir saya mau ngemis gitu ajah ke dia. Huft…

Berasa banget nurunin gengsi ke si Basro ini.

Yasudah, besoknya saya ingatkan lagi si Basro dan….. hingga hari ini WA saya gak dibalas. Padahal dah biru, udah dibaca. Hahahhaha, Sok penting nih dia. Berasa pengen dijitak.

Udah gak niat lagi ngejar ucapan selamat ultah dari si Basro ini. Gak peduli dah… Huhu, mending ngejar artis sekalian. Ditolak juga jelas, ditolak artis.

Tapi, yang unik adalah memang hubungan si Ijem dan Basro ini. Awalnya si Ijem ngaku dia gak butuh balasanlah, apalah. Yang dia mau hanya melakukan apa yang menurut kata hatinya harus dilakukan. Tapi yah ujung-ujungnya adalah pengharapan…

Sampe sekarang saya masih gak paham apa ada rasa seperti itu, tulus, ikhlas dan rela? Ya harusnya sih memang ada. Tapi, mungkin itu untuk orang-orang yang pola pikirnya setingkat dewa atau malaikat.

Cinta, iyah sih repot kalau mau dijelaskan,,,

Kalau ditanya, kenapa bisa cinta ma Basro? Jawabannya gak jauh dari cinta mana bisa pilih-pilih. Lagian juga cinta gak butuh alasan.

Iya dah, cinta mah gak butuh alasan. Karena, cinta itu butuhnya BALASAN!

Dewi Lestari bisa ajah bilang, ‘Malaikat juga tahu, siapa yang jadi juaranya…’

Nah, masalahnya adalah kamu yakin kalau juara yang dimaksud sama Dee ini adalah kamu? 😀

-R-

Aku Menjadi Bukan Aku

Bandung, 15 Juli 2013 (malam yang dingin, di kantor, mala mini saya piket jaga)

Heum ga kerasa sudah hampir 5 bulan bekerja disini, iah sebagai wartawan.

Berburu berita, berburu narasumber

Aku menyukai pekerjaan ini, bahkan sangat menyukainya

Tetapi aku ragu…

Apa ia ini yang aku senangi?

Aku memang menyukai menulis, iah menulis

Ingat sekali bagaimana seorang teman mengkritik cara menulisku kala itu

Tetapi semua berubah, aku menjadi orang yang tersistematis dalam menulis

Dan aku mulai menemui banyak orang

Mereka yang ingin sekali dipublish

“Mbak-mbak, boleh wawancara saya sebentar,” katanya

Ada juga yang acuh tak acuh, ya mereka membutuhkan media, walaupun hanya sedikit

Selain itu ada juga yang tidak butuh saya sama sekali,
Jika seseorang enggan membayar mahal2 dan mengurungkan niat eksisnya

Yang ini bahkan tidak ingin diliput sama sekali (padahal saya tidak menuliskan, diwawancara = bayar Rp20.000)

Tidak sama sekali, hahahahah

Ada juga mereka yang sangat baik, sehingga sanking baiknya aku bingung menghadapinya

Itulah hidup saya sekarang. Bergaul dengan orang yang bermacam-macam

Bekerja di tengah perusahaan yang cukup besar nyatanya menuntutku untuk berinteraksi dengan mereka para pejabat

Iah pejabat, dari sekedar ketua dinas bahkan hingga para menteri

Dulu aku pikir, hebat sekali mereka yang mewawancara Gubernur

Nyatanya, biasa saja! Sangat biasa

Tidak ada sesuatu yang negatif keluar dari mulut mereka,

Hari ini aku tulis A, besoknya beredar berita Si acong menganggap A tidak memperhatikan mereka

Aku tertawa, benar-benar panggung sandiwara

Yang lucu lagi ketika aku mendengar sang pimpinan daerah ku berpidato

Panjang lebar dia berbicara, tepuk tangan terus terdengar

Aku tertawa di balik sudur ruang pidatonya

Hanya satu kata, “Palsu”

Ia dia palsu, dia yang bilang akan menjaga sumber daya alam kami

Padahal aku tau betul bagaimana daerah kami menjadi kampong banjir karena ulahnya

Karena izin2 yang membuatnya menjadi jutawan bahkan miliarder

Tetapi ini pekerjaanku,

Boleh aku mengeluh? Tidak

Boleh aku marah padanya? Boleh selagi aku tidak sedang bekerja

Bolehkah aku memakinya? Selalu dalam hati tanpa disuruh

Blog at WordPress.com.

Up ↑